Hasil survei "Online Survival Guide Consumer Reports" secara global per
September 2005, 47% responden mengaku menerima konten serta pesan sampah
(spam) bernada pornografi. Dari riset itu diperkirakan lebih dari dua
juta anak secara tak sengaja melihat pesan sampah bernada porno itu.
Kemudian,
berdasarkan riset Finkelhor, Mitchell, dan Wolak dari Online
Victimazation pada Juni 2000, enam dari sepuluh remaja usia belasan
menerima e-mail atau pesan instan (IM) dari orang yang tak dikenal, di
mana 63% diantaranya mengaku merespon balik pesan yang diterimanya.
Masih
dari hasil penelitian yang sama, satu dari lima belia melaporkan telah
mengalami pelecehan seksual atau setidaknya diintimidasi, pada tahun
yang sama saat studi itu dilakukan. Jumlah itu diperkirakan meningkat
seiring bertambahnya jumlah pengguna internet di kalangan usia remaja.
Hasil
survei itu dipaparkan Platform Strategic Manager Microsoft Indonesia
Subhan Novianda dalam seminar yang dihadiri sekitar 200 peserta.
Menurutnya, untuk mencegah terjadinya hal semacam itu, para orangtua
sebaiknya menggali informasi sebanyak-banyaknya mengenai Internet dan
mempelajari risiko yang mungkin membahayakan anak-anak saat
mengeksplorasi dunia maya tersebut.
Ia menambahkan, ada empat
langkah bagi para orangtua untuk memproteksi keluarganya saat terkoneksi
online. Pertama, buat aturan yang jelas dan tegas dalam menggunakan
Internet. Orangtua harus menjelaskan tentang esensi dari aturan itu demi
menghindari masalah yang mungkin terjadi bila hal itu dilanggar.
Kedua,
jaga komunikasi antar orangtua dan anak. Orangtua harus memberi
perhatian penuh terhadap apa yang anak-anak mereka lakukan dan siapa
yang mereka temui di saat online. Tentunya tanpa membuat sang anak
ketakutan dan merasa kehilangan kebebasannya dalam ber-Internet.
Ketiga,
orangtua harus mengajarkan anaknya agar tetap menjaga kerahasiaan
informasi yang bersifat personal terhadap orang yang ditemuinya di dunia
maya. Keempat, terus gunakan teknologi terkini demi menghindari risiko
kejahatan online.
Subhan juga mengatakan, semua bentuk
kekhawatiran tersebut sudah dipikirkan oleh Microsoft. Di dalam Windows
Vista, ia mengklaim semua fitur proteksi keluarga yang disebutkan di
atas sudah terakomodir oleh sistem operasi Microsoft teranyar itu.
Sangat Mengkhawatirkan
Kasus
pada anak memang sangat mengkhawatirkan. Bila dilihat ke belakang,
menurut Aziz, pada periode Januari - Maret 2001 terdapat 67 anak yang
terkait dengan masalah hukum.
Kini, lanjutnya, anak-anak itu
menjalani pemeriksaan akibat perkelahian (9 anak), pencurian (28 anak),
terlibat narkoba (9 anak), pelaku kekerasan seksual (16 anak), terlibat
pembunuhan (1 anak), dan terlibat pemerasan (2 anak).
Khusus
tentang anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual, antara lain
tercatat korban anak berusia 0-5 tahun (9 anak), usia 5-10 tahun (8
anak), usia 11-15 tahun (63 anak), serta korban berusia 16-18 tahun (18
anak).
Pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak ini adalah
tetangga (28 kasus), teman sendiri (12 kasus), orang tak dikenal (5
kasus), perzinahan dalam lingkungan keluarga atau incest (13 kasus).
Pada
periode yang sama, jumlah anak yang mendapatkan kekerasan fisik
tercatat sebanyak 25 orang, terkena penganiayaan 11 anak, korban
pembunuhan tiga anak, dan dibunuh sewaktu lahir 11 anak bayi.
Fakta-fakta
itu menunjukkan bahwa angka kekerasan pada anak bukannya semakin
menurun, bahkan cenderung meningkat. Selain itu, pada kenyataannya angka
pekerja anak jumlahnya juga cukup fantastis.
Berdasarkan survei
yang dilakukan lewat Sensus Ekonomi Nasional pada 2000, terekam data
mengenai 1,6 juta anak Indonesia yang bekerja di berbagai bidang,
termasuk di antaranya yang mengandung risiko tinggi seperti
pertambangan.
Jumlah pekerja anak memang membuat miris. Tapi
lebih dari itu, 35 persen di antaranya bahkan mengalami eksploitasi
dalam bekerja, seperti jam kerja yang sangat tinggi (hingga 21 jam),
upah minim, serta rawan kejahatan seksual. Anak-anak itu juga rawan akan
praktik perdagangan dan pelacuran.
Sebagaimana diuraikan di
atas, persoalan anak yang berkonflik dengan hukum juga cukup menonjol.
Anak-anak yang terpaksa berada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) juga
cukup banyak. Tercatat, Lapas Anak Tanjung Gusta Medan hingga Oktober
2005 dihuni 423 orang, dimana di antaranya dihuni 155 anak berusia 18
tahun ke bawah, serta 125 remaja berusia 19-21 tahun.
Sisanya,
Lapas itu dihuni oleh 143 orang dewasa berusia 22 tahun ke atas. Dengan
kapasitas Lapas yang sebenarnya hanya cukup menampung 250 orang, keadaan
itu sangat berisiko tinggi terhadap anak-anak menjadi pelaku kriminal
setelah keluar dari Lapas.
Rabu, 23 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)







0 komentar:
Posting Komentar